LIFE: SULLI

Disclaimer: Tulisan ini gue buat berdasarkan opini personal dan murni sudut pandang gue aja, dan perlu diingat, gue bukanlah ahli kejiwaan atau apapun namanya. Ini adalah pendapat gue sebagai masyarakat awam dan sebagai perempuan.
Seorang wanita cantik dan sukses dalam karirnya meninggal karena bunuh diri. Ya, baru-baru ini dunia dihebohkan dengan berita Sulli, seorang penyanyi dan aktris asal Korea Selatan, yang meninggal pada Senin, 14 Oktober 2019 karena diduga bunuh diri dirumahnya.
Gue ga akan fokus membahas kontroversi dari Sulli, melainkan gue akan membahas apa yang kira-kira dapat menyebabkan Sulli bunuh diri dari sudut pandang gue berdasarkan observasi terbatas gue terhadap fakta yang ada.
Gue mulai dengan stalk media sosial milik Sulli alias Choi Jin Ri. Gue bisa menyimpulkan bahwa Sulli adalah pribadi yang menarik, quirkyfun, keren, dan ga jaim jika dibandingkan dengan selebriti Korea Selatan lainnya yang lebih sering menampilkan aegyo yang menunjukkan kesan bahwa mereka sangatlah imut, tak bercela, dan rapuh.
Ia pun dikenal sangat terbuka untuk mendukung gerakan feminism (in a good way) di Korea Selatan (CMIIW) yang sangat jarang dilakukan seorang selebriti di Korea Selatan demi menjaga image-nya. She is very outspoken. 
Awalnya gue berpikir, wah ini orang kayanya tipe yang ga peduli apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya. Gue pikir dengan segala kecantikan dan kesempurnaan Sulli dan ditambah lagi dengan pola pikirnya yang seakan-akan tidak peduli dengan pemikiran orang Korea Selatan yang masih banyak menganut patriarki dan konservatif, Sulli akan terus berada di dunia ini dan berkarya tanpa sedikit pun terlintas pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Ternyata gue salah besar.
Menurut gue, Sulli adalah tipe orang yang seakan-akan tidak peduli, namun sebenernya sangat terobsesi dengan pendapat orang. 
Sulli bunuh diri karena ia termakan dengan banyaknya komentar jahat dari orang yang ia tidak kenal dan tidak mengenal ia dengan baik. Bahkan saking pengecutnya, orang-orang itu hanya berani melakukan di dunia maya saja.
Gue tidak akan mencari siapa yang salah, karena jelas pelaku cyberbullying yang salah, namun gue akan mengajak kita berpikir bersama.
Jika saja Sulli lebih fokus untuk pemulihan mentalnya dan sejenak ambil waktu untuk tidak bersinggungan dengan komentar jahat di media sosial, misalnya dengan sementara deactivate akun.
Sulli dengan segala kontroversinya masih dipercaya untuk menjadi brand ambassador yang no kaleng-kaleng, Estee Lauder. Ia pun menjadi host tetap di sebuah acara TV, tampil sebagai cameo drama terkenal, masih menelurkan single dengan video klip yang sangat unik.
Banyak hal yang bisa mendistraksi Sulli dari depresinya dan tentu ia memiliki pilihan untuk menentukan apa yang harus ia berfokus pada.
Tapi gue pernah depresi dan tentu bisa berempati pada apa yang Sulli rasakan, setelah hingar bingar kesibukan hidup akan ada waktu untuk kembali diserang oleh apa yang ada di kepala sendiri.
Percaya deh, cuma kita yang bisa mengalahkan apa yang ada di kepala kita.
Gue yakin Sulli sudah berusaha, makanya ia bertahan di tengah depresi hidupnya dan di tengah perasaan bahwa selama ini ia hanya pura-pura gembira.
Yang perlu Sulli ketahui dan kita juga, pura-pura gembira bukan tindakan kriminal dan kita tidak perlu merasa bersalah akan hal itu. Itu adalah hal yang wajar, tiap orang pasti ada hal yang ia ingin sembunyikan perasaan sedih dan menderita dari orang lain yang tidak begitu penting dalam hidupnya.
Sulli pun merasa bahwa terkadang ia menjadi pribadi yang berbeda-beda di waktu yang berbeda, kalau tidak salah tercermin dari video klip “Goblin” dan beberapa curcolnya di media. Itu pun wajar, kita harus mengakui bahwa kita semua ini pake topeng dan punya timeline sendiri kapan harus pakai topeng yang mana karena kita tahu betul tidak semua orang mau menerima kita apa adanya, that is okay and life goes on.
Semua itu wajar, tidak perlu merasa bersalah sehingga menghukum diri sendiri. Ingat, kita tidak salah, semua itu hanya bagian dari mekanisme pertahanan atau penyesuaian yang timbul dalam diri manusia sebagai makhluk sosial.
Dan yang gue mau tegaskan, gue setuju jika ada yang bilang semua orang pasti punya penyakit mental tertentu dengan kadar yang berbeda-beda. Deep down, gue tau gue itu punya keanehan dengan beberapa sifat gue atau bahkan sudah jadi penyakit mental dan gue yakin kalian juga. Tapi, gue kurang setuju jika penyakit mental menjadi hal yang tabu seperti pembahasan edukasi seks pada masa sekolah.
Sederhanakan saja, jika sudah tidak kuat dengan keadaan mental kita, segera cari pertolongan profesional.
Jika saja orang-orang yang memiliki privilege kebebasan berpendapat dan mendapat jaringan internet sebagai fasilitas pendukung, lebih berhati-hati dalam memilih perkataan.
Sudah cukup jelas, satu sumber air tidak akan mengeluarkan air manis dan air pahit. Jika kita berbicara atau melakukan hal yang menyakitkan orang lain, pastinya kita juga sedang sakit. Dan hanya orang aneh yang mempertahankan penyakit dalam tubuhnya tanpa berusaha berobat.
Sekali lagi ya, bullying itu tindakan terlemah dan terpengecut. Hanya karena Sulli terlihat lebih lemah atau terlihat berbeda, bukan jadi validasi mereka para bully bisa venting semua permasalahan hidup mereka yang miserable itu ke Sulli.
Jika saja orang terdekat Sulli lebih belajar mendengarkan Sulli dan mencarikan bantuan untuk segera bertemu profesional dan berkonsultasi mengenai depresi atau gangguan mental lainnya, Sulli tidak akan merasa berjuang sendiri.
Gue lihat dia tinggal sendiri di rumahnya yang cukup besar di Seongnam, ia tinggal bersama kucingnya. Maksud gue, apa tidak ada pihak keluarga atau orang terdekat yang menemani dan mendampingi dalam wujud hadir secara fisik untuk seseorang yang sudah terang-terangan mengklaim dirinya depresi?
Kadang kita hidup bersama keluarga atau teman di satu atap aja masih bisa ngerasa kesepian, gimana yang beneran hidup sendirian tiap hari?
Bagi gue yang pernah depresi, memang hanya gue yang bisa mengalahkan semua kekacaubalauan dalam kepala gue, tapi dukungan dan doa orang terdekat sangat membantu.
Kalau kita menemukan fakta bahwa orang terdekat kita sedang depresi, mari kita upayakan banyak hal agar ia tidak merasa berjuang sendiri. Jika tidak bisa hadir secara fisik, alat komunikasi jaman sekarang sudah mumpuni. 
Belajar mendengarkan tanpa menghakimi mereka dengan bilang, “Udahlah cuma gini doang, lo tu harus banyak bersyukur. Liat tuh si A lebih menderita tapi ga lemah kaya lo gini.”
Udah diremehkan permasalahannya, dipaksa bersyukur biar seakan-akan mempraktekkan agama, bandingin korban dengan orang lain lagi. PINTAR.

Sulli, 
I hope you find peace and serenity where you are now.
Bully,
GO TO HELL YOU TRASH.

Cheers,
Clairine


Komentar

  1. As reported by Stanford Medical, It is indeed the SINGLE reason women in this country live 10 years longer and weigh an average of 42 lbs less than us.

    (And actually, it is not about genetics or some hard exercise and EVERYTHING to do with "how" they eat.)

    BTW, I said "HOW", and not "what"...

    Tap this link to determine if this quick test can help you release your real weight loss possibilities

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRIP: UNIVERSAL STUDIOS JAPAN VS TOKYO DISNEYSEA

TRIP: PERSIAPAN MUSIM DINGIN DI KOREA SELATAN

TRIP: LIBURAN HEMAT KE JEPANG 14 HARI TANPA JRPASS & TIPS-TIPS